1. Peranan Para Ulama Dalam Proses Integrasi
Agama Islam yang masuk dan
berkembang di Nusantara mengajarkan kebersamaan dan mengembangkan toleransi
dalam kehidupan beragama. Islam mengajarkan persamaan dan tidak mengenal
kasta-kasta dalam kehidupan masyarakat. Konsep ajaran islam memunculkan
perilaku ke arah persatuan dan persamaan derajat. Disisi lain, datangnya
pedagang-pedagang Islam di Indonesia mendorong berkembangnya tempat-tempat
perdagangan di daerah pantai. Tempat-tempat perdagangan itu kemudian menjadi
berkembang menjadi pelabuhan dan kota-kota pantai. Bahkan kota-kota pantai yang
merupakan bandar dan pusat perdagangan, berkembang menjadi kerajaan. Timbulnya kerajaan-kerajaan
Islam merupakan awal terjadinya proses integrasi. Meskipun masing-masing
kerajaan memiliki cara dan faktor pendukung yang berbeda-beda dalam proses
integrasinya.
2. Peran Perdagangan Antar Pulau
Proses
integrasi juga terlihat melalui kegiatan pelayaran dan perdagangan antar pulau.
Sejak zaman kuno, kegiatan pelayaran dan perdagangan sudah berlangsung di
Kepulauan Indonesia. Pelayaran dan perdagangan itu berlangsung dari daerah yang
satu ke daerah yang lainnya, bahkan antara negara yang satu dengan negara yang
lain. Kegiatan pelayaran dan perdagangan pada umumnya berlangsung dalam waktu yang
sangat lama. Hal ini, menimbulkan pergaulan dan hubungan kebudayaan antara
pedagang dengan penduduk setempat. Kegiatan semacam ini mendorong terjadinya
proses integrasi.
Pada mulanya
penduduk di suatu pulau cukup memenuhi kebutuhan hidupnya dengan apa yang ada
di dalam pulau tersebut. Dalam perkembangannya, mereka ingin mendapatkan
barang-barang yang terdapat di pulau lain. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, terjadilah
hubungan dagang antar pulau. Angkutan yang paling murah dan mudah adalah
angkutan laut (kapal/perahu), maka berkembanglah pelayaran dan perdagangan. Terjadinya
pelayaran dan perdagangan antar pulau di Kepulauan Indonesia yang diikuti pengaruh
di bidang budaya turut berperan serta mempercepat perkembangan proses
integrasi. Misalnya, para pedagang dari Jawa berdagang ke Palembang, atau para
pedagang dari Sumatra berdagang ke Jepara. Hal ini menyebabkan terjadinya
proses integrasi antara Sumatra dan Jawa. Para pedagang di Banjarmasin
berdagang ke Makassar, atau sebaliknya. Hal ini menyebabkan terjadinya proses
integrasi antara masyarakat Banjarmasin (Kalimantan) dengan masyarakat
Banjarmasin (Sulawesi). Para pedagang Makassar dan Bugis memiiki peranan
penting dalam proses integrasi. Mereka berlayar hampir ke seluruh Kepulauan
Indonesia bahkan jauh sampai ke luar Kepulauan Indonesia.
Pulau-pulau
penting di Indonesia, pada umumnya memiliki pusat-pusat perdagangan. Sebagai contoh
di Sumatra tedapat Aceh, Pasai, Barus, dan Palembang. Jawa memiliki beberapa
pusat perdagangan misalnya Bante Sunda Kelapa, Jepara, Tuban, Gresik, Surabaya,
dan Blambangan. Kemudian di dekat Sumatra ada bandar Malaka. Malaka berkembang
sebagai bandar tebesar di Asia Tenggara. Tahun 1511 Malaka jatuh ke tangan
Portugis. Akibatnya perdagangan Nusantara berpindah ke Aceh. Dalam waktu singkat
Aceh berkembang sebagai bandar dan menjadi sebuah kerajaan yang besar. Para pedagang
dari pulau-pulau lain di Indonesia juga datang dan berdagang di Aceh.
Sementara
itu, sejak awal abad ke-16 di Jawa berkembang Kerajaan Demak dan beberapa
bandar sebagai pusat perdagangan. Di kepulauan Indonesia bangian tengah maupun
timur juga berkembang kerajaan dan pusat-pusat perdagangan. Dengan demikian,
terjadi hubungan dagang antar daerah dan antarpulau. Kegiatan perdagangan
antarpulau mendorong terjadinya proses integrasi yang terhubung melalui para
pedagang. Proses integrasi itu juga diperkuat dengan berkembangnya hubungan
kebudayaan. Bahkan juga ada yang diikuti dengan perkawinan.
3. Peran Bahasa
Perlu
juga kamu pahami bahwa bahasa juga memilki peran yang strategis dalam proses
integrasi. Kamu tahu bahwa Kepulauan Indonesia terdiri atas beribu-ribu pulau
yang dihuni oleh aneka ragam suku bangsa. Tiap-tiap suku bangsa memiliki bahasa
masing-masing. Untuk mempermudah komunikasi antar suku bangsa, diperlukan satu
bahasa yang menjadi bahasa perantara dan dapat dimengerti oleh semua suku
bangsa. Jika tidak memiliki kesamaan bahasa, persatuan tidak akan terjadi
karena di antara suku bangsa timbul kecurigaan dan prasangka lain.
Bahasa
merupakan sarana pergaulan. Bahasa Melayu digunakan hampir di semua pelabuhan-pelabuhan
di Kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu sejak zaman kuno sudah menjadi bahasa
resmi negara Melayu (Jambi). Pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, bahasa
Melayu dijadikan bahasa resmi dan bahasa ilmu pengetahuan. Hal ini dapat
dilihat dari Prasasti Kedudukan Bukit tahun 683 M, Prasasti Talang Tuo tahun
684 M, Prasasti Kota Kapur tahun 685 M, dan Prasasti Karang Berahi tahun 686 M.
Para
pedagang di daerah-daerah sebelah timur Nusantara, juga menggunakan bahasa
Melayu sebagai bahasa pengantar. Dengan demikian, berkembanglah bahasa Melayu
ke seluruh Kepulauan Nusantara. Pada mulannya bahasa Melayu di gunakan sebagai
bahasa dagang. Akan tetapi lambat laun bahasa Melayu tumbuh menjadi bahasa
perantara dan menjadi lingua franca di seluruh Kepulauan Nusantara.
Di Semenanjung Malaka (Malaysia Sebrang), pantai timur Pulau Sumatra, pantai
barat Pulau Sumatra, Kepulauan Riau, dan pantai-pantai Kalimantan, penduduk
menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan.
Masuk
dan berkembangnya agama Islam, mendorong perkembangan bahasa Melayu. Buku-buku
agama dan tafsir Al-Qur’an juga menggunakan bahasa Melayu. Ketika menguasai
Malaka, Portugis mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan bahasa Portugis,
namun kurang berhasil. Pada tahun 1641 VOC merebut Malaka dan kemudian
mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan bahasa Melayu. Jadi, secara tidak
sengaja, kedatangan VOC secara tidak langsung ikut mengembangkan bahasa Melayu.